Al Azhar Memorial Garden – Menghadapi kematian seseorang, pasti akan menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Sebagai seorang muslim, tugas anda adalah mendoakan orang yang telah meninggal dengan melaksanaan shalat jenazah.
Meskipun demikian, tidak semua orang ternyata hafal doa shalat jenazah. Bagaimana cara melaksanakannya? Berikut adalah penjelasannya.
Penting untuk dicatat bahwa shalat jenazah merupakan salah satu dari empat kewajiban bersama umat muslim (fardhu kifayah), yaitu memandikan jenazah, mengafani jenazah, menunaikan shalat jenazah, dan menguburkan jenazah, yang harus dijalankan oleh mereka yang berada di sekeliling orang yang telah meninggal dunia.
Mendoakan jenazah setelah takbir ketiga merupakan rukun dari sholat jenazah, Nabi Muhammad saw bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Ketika kalian menshalatkan mayit, maka khususkanlah doa untuknya” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Dalam mazhab Syafi’i, membaca doa khusus untuk mayit dalam shalat jenazah setelah takbir ketiga dianggap sebagai kewajiban fardhu dan merupakan salah satu komponen penting dari rukun-rukun shalat jenazah.
Pesan yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah perlunya mendoakan mayit secara spesifik terkait urusan akhirat, dengan setidaknya mengucapkan doa seperti “Allahummarhamhu” yang berarti “Ya Allah, rahmatilah dia,” seperti yang dijelaskan dalam kitab Busyral Karim sebagai berikut
السادس: الدعاء للميت بخصوصه بأخروي ولو أقل ما ينطلق عليه اسم الدعاء، كاللهم ارحمه وذلك؛ لأنه المقصود من الصلاة، وما قبله كالمقدمة له
Artinya: Rukun keenam dalam shalat jenazah adalah mendoakan mayit secara khusus dengan doa yang berkaitan dengan akhirat, sekalipun dengan doa paling minimal semisal “Allahummarhamhu”, karena mendoakan mayit itulah tujuan dari menyolatinya. Adapun bacaan sebelum doa tersebut seperti mukadimah untuknya.
Kemudian terkait doa dan bacaan lain dalam shalat jenazah, seperti bacaan surat Al-Fatihah, shalawat kepada Nabi saw disunnahkan dibaca dengan sirr atau suara pelan. Sedangkan untuk imam disunahkan mengeraskan suaranya hanya pada bacaan takbir dan salam saja, tidak pada yang lainnya.
Imam yang tidak mengeraskan suaranya saat takbir dan salam dianggap bertentangan dengan pendapat yang lebih diutamakan (khilaful aula), sementara mengeraskan suara pada bacaan Al-Fatihah, shalawat, dan doa khusus untuk mayit yang seharusnya dibaca dengan suara pelan (sirr) dianggap kurang disarankan (makruh). Hal ini diberikan sebagai pedoman berdasarkan hadits shahih yang disampaikan oleh Abu Umamah.
رَوَى النَّسَائِيّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ: أَنَّهُ قَالَ «مِنْ السُّنَّةِ فِي صَلَاةِ الْجِنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ ثُمَّ يَقْرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ مُخَافَتَةً ثُمَّ يُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ يَخُصَّ الدُّعَاءَ لِلْمَيِّتِ وَيُسَلِّمَ
Artinya: An-Nasa’i meriwayatkan dengan sanad shahih dari Abu Umamah, “Termasuk kesunnahan dalam shalat jenazah adalah membaca takbir, membaca Al-Fatihah dengan suara pelan, kemudian membaca shalawat atas Nabi saw dan mengkhususkan doa bagi mayit dan salam” (Said Ibn Muhammad Ba’ali Baisan, Busyral Karim, [Jedah, Darul Minhaj: 2004 M] halaman 460-461).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa memberikan doa khusus untuk mayit adalah bagian yang wajib dan esensial dalam pelaksanaan shalat jenazah, termasuk sebagai bagian dari kewajiban dan pilar utama dalam shalat tersebut. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang melaksanakan shalat jenazah memiliki tanggung jawab untuk mendoakan mayit, dan bukan hanya kewajiban bagi imam.
Adapun, membaca doa tersebut dapat dilakukan dengan pelan atau secara rahasia, sehingga hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Bagi mereka yang tidak hafal atau tidak mampu membaca doa, diharapkan untuk berdiam diri sambil berdoa, tanpa perlu mengaminkan doa yang dibacakan oleh imam.
Hukum dalam kasus ini disamakan dengan orang yang tidak hafal bacaan Al-Fatihah. Dijelaskan dalam kitab I’anatut Thalibin:
قال سم: أنظر هل يجري نظير ذلك في الدعاء للميت، حتى إذا لم يحسنه وجب بدله، فالوقوف بقدره، وعلى هذا فالمراد ببدله قراءة أو ذكر من غير ترتيب بينهما أو معية؟ فيه نظر، والمتجه الجريان. اه
Artinya: Ibnul Qasim Al-Abbadi berkata: Pertimbangkan, apakah berlaku kesamaan masalah tidak hafal Al-Fatihah dengan permasalahan tidak bisa mendoakan mayit dalam shalat jenazah. Sehingga ketika seseorang tidak cakap dalam mendoakan mayit, maka wajib ada bacaan yang menggantikannya; kemudian jika tidak bisa juga, maka diam sekira waktu yang cukup untuk mendoakannya? Berdasarkan pandangan ini maka yang dimaksud bacaan penggantinya adalah membaca ayat atau dzikir tanpa berurutan antara keduanya atau secara bersamaan. Masalah ini perlu dikaji. Namun, arahannya adalah berlaku sama (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyati As-Syafi’i, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz II halaman 142).
Imam mengucapkan doa untuk mayit dengan lantang, sehingga makmum hanya perlu mengaminkan doa tersebut tanpa khawatir tentang kemungkinan kesalahan dalam pelafalan.
Tindakan ini tidak diperkenankan, karena doa untuk mayit merupakan bagian yang harus dibaca oleh setiap pelaksana shalat jenazah, termasuk makmum. Oleh karena itu, cukup mengaminkan doa imam saja tidak memadai.
Apabila ternyata makmum tidak mampu atau tidak terampil dalam membaca doa untuk mayit, maka ia diharapkan untuk menggantinya dengan membaca ayat atau dzikir.
Jika itu juga tidak mungkin dilakukan, maka cukuplah bagi makmum untuk tetap diam sambil mendoakan mayit selama waktu yang diperlukan. Sedangkan, hukum mengeraskan bacaan doa oleh imam dianggap sebagai perbuatan yang makruh.